Senin, 05 Desember 2011

Antara Sekolah dan Rasa Lapar


Realitas di masyarakat memang memperlihatkan pilihan ini. Ketika memutuskan untuk mengirim anak-anak mereka ke lembaga-lembaga sekolah, orang tua seperti melakukan perjudian. Perjudian antara mengalami rasa lapar dan melihat anak mereka memakai seragam sekolah. Kita sangat tahu persis bahwa pemerintah telah mengalokasikan 20% APBN untuk kebutuhan pendidikan yang kalau di uangkan bisa mencapai puluhan triliun. Namun, kenapa dilema ini masih ada? Herankan?

Banyak yang menyatakan bahwa mayoritas anggaran pendidikan tersedot untuk menggaji tenaga pendidik sehingga untuk pengembangan sekolah sendiri pada dasarnya kurang mencukupi. Buktinya, banyak sekali sekolah-sekolah yang gedungnya terancam ambruk, tapi tak mampu melakukan pembenahan. Maka, tak heran jika kemudian muncul keraguan, mungkinkah dana sebesar itu mampu dimanfaatkan untuk menfasilitasi pendidikan bagi masyarakat lapis bawah?


Sekolah kok mahal, kenapa?
Saya sendiri juga heran, kenapa sekolah kok bisa jadi mahal. Padahal hampir mayoritas dari kita sepakat bahwa sekolah itu penting, sekolah bisa meningkatkan taraf hidup seseorang melalui peningkatan kualitas SDM. Harusnya, ini dibarengi dengan akses yang mudah untuk semua kalangan. Tapi, yah..memang mimpi tak seindah kenyataan.

Bagi saya secara pribadi, ada beberapa sumber yang bisa membuat sekolah jadi mahal. Pertama, adanya sumbangan pembangunan. Meski banyak disangkal oleh lembaga sekolah itu sendiri, dalam kenyataannya praktek meminta sumbangan pembangunan tetap berjalan, meski dengan nama yang sudah diperhalus. Bagi orang tua yang mau mengirim anaknya ke sekolah, sumbangan pendidikan dirasakan cukup mencekik. Jumlah yang fantastis, mulai dari ratusan ribu sampai jutaan, memberi kontribusi lebih pada mahalnya sekolah. Sialnya, sumbangan ini mulai ada dari sekolah tingkat taman kanak-kanak sampai universitas.

Kedua, biaya beli buku. Seorang anak yang bersekolah setidaknya harus memiliki tiga macam buku; buku pegangan wajib, buku LKS, dan buku tulis. Taruhlah, jika masing-masing buku itu harganya 10.000, maka untuk satu mata pelajaran saja orang tua harus sudah merogoh kocek 30.000. Kita bisa membayangkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk membiayai pembelian semua buku pada semua mata pelajaran. Hmmm..pastinya ratusan ribu. Yang menambah beban masalah adalah muncul sebuah doktrinasi bahwa jika tidak punya buku, maka sekolah jadi tidak sukses. Dan, anak pun akan memaksa orang tuanya untuk membelikan buku. Dalam hal ini bukannya saya tidak setuju dengan pembelian buku. Buku memang sangat penting. Namun, sekolah sudah harus memiliki alternatif solusi sehingga kebutuhan akan buku ini tidak menjadi beban bagi orang tua yang memicu munculnya keengganan mereka menyekolahkan anak-anaknya.

Ketiga, biaya kegiatan penunjang sekolah. Biaya ini bisa mencakup biaya ekstrakurikuler atau biaya les pada lembaga bimbel. Sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan di lembaganya sekaligus sebagai bekal untuk hidup bermasyarakat, maka sekolah pun memberikan fasilitas ektrakurikuler, entah yang wajib atau tidak. Tujuannya memang bagus, namun sayang terkadang siswa diharuskan untuk mengeluarkan biaya untuk membayar kegiatan tersebut.

Bicara soal les di lembaga bimbel, mungkin ini kembali ke siswa masing-masing. Namun, ada sedikit pertanyaan yang mengusik, kenapa lembaga-lembaga bimbel begitu ramainya? Jawabannya mungkin bervariasi. Namun, ada satu hal yang hampir bisa kita pastikan, siswa merasa tidak yakin lembaga sekolah mampu menjaminan mereka naik kelas atau lulus. Maka, siswa pun berbondong-bondong untuk berangkat ke lembaga bimbel. Mereka mencari jalan keluar lain untuk bisa naik kelas atau lulus. Memang, biaya bimbel tidak ditentukan sekolah dan tidak masuk ke kantong sekolah, namun ketidak mampuan sekolah memberikan jaminan ini, menjadikan orang tua untuk mengeluarkan biaya ekstra buat sekolah anak-anak mereka.

Mendamba pendidikan tidak mahal
Dalam konteks ini sengaja saya tidak menggunakan pendidikan murah. Bukan karena apa-apa, kata “murah” sekarang lebih banyak disalah artikan, dan memiliki konotasi yang kurang bagus, seperti jelek, tidak berkualitas. Yah…semacam fakta yang kita temukan dalam bantuan beras murah untuk rakyat.

Saya menggunakan kata “tidak mahal” karena bagi saya ini yang paling fleksibel. Tidak mahal tidak mengharuskan murah. Tidak mahal artinya semua lapisan bisa menjangkau, baik kalangan atas maupun kalangan bawah. Tidak mahal berarti biayanya cukup rasional.

Pemerintah memang telah membuat kebijakan dengan memberi fasilitas pendidikan gratis. Di sana-sini banyak kita temukan spanduk sekolah gratis yang terpasang di beberapa lembaga sekolah. Namun sayang, program ini masih belum mampu menarik minat kalangan bawah untuk mengirim anak mereka ke sekolah. Artinya, program ini belum mampu menyentuh kesadaran dan meyakinkan masyarakat tentang arti penting sekolah. Atau, jangan-jangan ini hanya dalam teori bukan praktek. Entahlah!

Jika kita menganggap bahwa sekolah itu penting untuk meningkatkan SDM negeri ini yang bermura pada meningkatnya taraf hidup masyarakat dan kualitas bangsa, maka mereformulasi lembaga sekolah menajdi sebuah keniscayaan, terutama yang berhubungan dengan biaya. Karena selama ini tingginya biayalah yang selalu membuat enggan orang tua untuk mengirim anak mereka ke sekolah. Apalagi dengan ditambah banyaknya fakta bahwa bersekolah tidak menjamin kesuksesan hidup.

Bagaimana caranya? Akan berbeda-beda karena pada dasarnya hanya lembaga sekolah itulah yang tahu. Merekalah yang punya kepentingan dengan biaya itu. Namun yang pasti, sekolah tidak mahal sangan didambakan di negara ini. Sekolah yang bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Sekolah yang tidak akan membuat orang tua mengatakan, “lebih baik kamu bekerja dari pada sekolah,” atau “jangankan untuk sekolah, untuk biaya makan saja susah.”

Sumber : Mutiara Biru Samudra

0 comments:

Posting Komentar