Realitas di masyarakat memang memperlihatkan pilihan ini.
Ketika memutuskan untuk mengirim anak-anak mereka ke lembaga-lembaga sekolah,
orang tua seperti melakukan perjudian. Perjudian antara mengalami rasa lapar
dan melihat anak mereka memakai seragam sekolah. Kita sangat tahu persis bahwa
pemerintah telah mengalokasikan 20% APBN untuk kebutuhan pendidikan yang kalau
di uangkan bisa mencapai puluhan triliun. Namun, kenapa dilema ini masih ada?
Herankan?
Banyak yang menyatakan bahwa mayoritas anggaran pendidikan
tersedot untuk menggaji tenaga pendidik sehingga untuk pengembangan sekolah
sendiri pada dasarnya kurang mencukupi. Buktinya, banyak sekali sekolah-sekolah
yang gedungnya terancam ambruk, tapi tak mampu melakukan pembenahan. Maka, tak
heran jika kemudian muncul keraguan, mungkinkah dana sebesar itu mampu
dimanfaatkan untuk menfasilitasi pendidikan bagi masyarakat lapis bawah?
Sekolah kok mahal, kenapa?
Saya sendiri juga heran, kenapa sekolah kok bisa jadi mahal.
Padahal hampir mayoritas dari kita sepakat bahwa sekolah itu penting, sekolah
bisa meningkatkan taraf hidup seseorang melalui peningkatan kualitas SDM.
Harusnya, ini dibarengi dengan akses yang mudah untuk semua kalangan. Tapi,
yah..memang mimpi tak seindah kenyataan.
Bagi saya secara pribadi, ada beberapa sumber yang bisa
membuat sekolah jadi mahal. Pertama, adanya sumbangan pembangunan. Meski banyak
disangkal oleh lembaga sekolah itu sendiri, dalam kenyataannya praktek meminta
sumbangan pembangunan tetap berjalan, meski dengan nama yang sudah diperhalus.
Bagi orang tua yang mau mengirim anaknya ke sekolah, sumbangan pendidikan
dirasakan cukup mencekik. Jumlah yang fantastis, mulai dari ratusan ribu sampai
jutaan, memberi kontribusi lebih pada mahalnya sekolah. Sialnya, sumbangan ini
mulai ada dari sekolah tingkat taman kanak-kanak sampai universitas.
Kedua, biaya beli buku. Seorang anak yang bersekolah
setidaknya harus memiliki tiga macam buku; buku pegangan wajib, buku LKS, dan
buku tulis. Taruhlah, jika masing-masing buku itu harganya 10.000, maka untuk
satu mata pelajaran saja orang tua harus sudah merogoh kocek 30.000. Kita bisa
membayangkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk
membiayai pembelian semua buku pada semua mata pelajaran. Hmmm..pastinya
ratusan ribu. Yang menambah beban masalah adalah muncul sebuah doktrinasi bahwa
jika tidak punya buku, maka sekolah jadi tidak sukses. Dan, anak pun akan
memaksa orang tuanya untuk membelikan buku. Dalam hal ini bukannya saya tidak
setuju dengan pembelian buku. Buku memang sangat penting. Namun, sekolah sudah
harus memiliki alternatif solusi sehingga kebutuhan akan buku ini tidak menjadi
beban bagi orang tua yang memicu munculnya keengganan mereka menyekolahkan
anak-anaknya.
Ketiga, biaya kegiatan penunjang sekolah. Biaya ini bisa
mencakup biaya ekstrakurikuler atau biaya les pada lembaga bimbel. Sebagai
usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan di lembaganya sekaligus sebagai
bekal untuk hidup bermasyarakat, maka sekolah pun memberikan fasilitas
ektrakurikuler, entah yang wajib atau tidak. Tujuannya memang bagus, namun
sayang terkadang siswa diharuskan untuk mengeluarkan biaya untuk membayar
kegiatan tersebut.
Bicara soal les di lembaga bimbel, mungkin ini kembali ke
siswa masing-masing. Namun, ada sedikit pertanyaan yang mengusik, kenapa
lembaga-lembaga bimbel begitu ramainya? Jawabannya mungkin bervariasi. Namun,
ada satu hal yang hampir bisa kita pastikan, siswa merasa tidak yakin lembaga
sekolah mampu menjaminan mereka naik kelas atau lulus. Maka, siswa pun
berbondong-bondong untuk berangkat ke lembaga bimbel. Mereka mencari jalan
keluar lain untuk bisa naik kelas atau lulus. Memang, biaya bimbel tidak
ditentukan sekolah dan tidak masuk ke kantong sekolah, namun ketidak mampuan
sekolah memberikan jaminan ini, menjadikan orang tua untuk mengeluarkan biaya
ekstra buat sekolah anak-anak mereka.
Mendamba pendidikan tidak mahal
Dalam konteks ini sengaja saya tidak menggunakan pendidikan
murah. Bukan karena apa-apa, kata “murah” sekarang lebih banyak disalah
artikan, dan memiliki konotasi yang kurang bagus, seperti jelek, tidak
berkualitas. Yah…semacam fakta yang kita temukan dalam bantuan beras murah
untuk rakyat.
Saya menggunakan kata “tidak mahal” karena bagi saya ini
yang paling fleksibel. Tidak mahal tidak mengharuskan murah. Tidak mahal
artinya semua lapisan bisa menjangkau, baik kalangan atas maupun kalangan
bawah. Tidak mahal berarti biayanya cukup rasional.
Pemerintah memang telah membuat kebijakan dengan memberi
fasilitas pendidikan gratis. Di sana-sini banyak kita temukan spanduk sekolah
gratis yang terpasang di beberapa lembaga sekolah. Namun sayang, program ini
masih belum mampu menarik minat kalangan bawah untuk mengirim anak mereka ke
sekolah. Artinya, program ini belum mampu menyentuh kesadaran dan meyakinkan
masyarakat tentang arti penting sekolah. Atau, jangan-jangan ini hanya dalam
teori bukan praktek. Entahlah!
Jika kita menganggap bahwa sekolah itu penting untuk
meningkatkan SDM negeri ini yang bermura pada meningkatnya taraf hidup
masyarakat dan kualitas bangsa, maka mereformulasi lembaga sekolah menajdi
sebuah keniscayaan, terutama yang berhubungan dengan biaya. Karena selama ini
tingginya biayalah yang selalu membuat enggan orang tua untuk mengirim anak
mereka ke sekolah. Apalagi dengan ditambah banyaknya fakta bahwa bersekolah
tidak menjamin kesuksesan hidup.
Bagaimana caranya? Akan berbeda-beda karena pada dasarnya
hanya lembaga sekolah itulah yang tahu. Merekalah yang punya kepentingan dengan
biaya itu. Namun yang pasti, sekolah tidak mahal sangan didambakan di negara
ini. Sekolah yang bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Sekolah yang
tidak akan membuat orang tua mengatakan, “lebih baik kamu bekerja dari pada
sekolah,” atau “jangankan untuk sekolah, untuk biaya makan saja susah.”
Sumber : Mutiara Biru Samudra
0 comments:
Posting Komentar