Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan situasi lahiriah.
Banyak orang yang kelihatan kaya, hidup bergelimangan harta dan tak pernah
kekurangan, namun pada kenyataanya mereka tidak bahagia. Mereka selalu
dihinggapi rasa iri dan sakit hati ketika tetangga atau kolega mereka bisa
membeli sebuah mobil yang lebih mewah. Akhirnya, mereka pun disibukkan untuk
bekerja dengan tujuan untuk menumpuk harta sehingga mereka pun tidak bisa
menikmati kehidupan yang telah mereka raih.
Sebaliknya, banyak orang yang kelihatan biasa-biasa saja.
Tidak ada kesan mewah atau kaya raya. Namun, mereka tampak bahagia. Mereka tahu
bagaimana menikmati hidup yang telah dianugerahkan. Ketika tetangga atau kolega
mendapatkan sesuatu yang lebih dari mereka, tak ada rasa iri atau pun dengki. Mereka
ikut larut dalam kebahagiaan. Yah…situasi lahir tidak selalu mengambarkan apa
yang ada dalam batin seseorang. Berikut ini adalah kisah bagaimana seharusnya
kita menikmati hidup.
Alkisah, sejumlah mahasiswa perguruan tinggi terkemuka,
telah lulus dan mencapai kedudukan atau keberhasilan karir yang baik. Mereka
bersilaturrahim ke rumah dosen pembimbing mereka dahulu, seorang profesor yang
bersahaja. Mereka sangat terlena dengan perbincangan yang akrab dengan beragam
topik.
Sampailah mereka kedalam perbincangan topik “stress”.
Sindrom tekanan hidup yang mereka alami, dikeluhkan berulang-ulang. Beberapa
diantaranya, saling menguatkan keluhan itu, sehingga menambah rasa kekecewaan
dan pesimistis. Melihat perbincangan yang tidak sehat itu, san profesor tersenyum
simpul dan meminta izin sebentar untuk ke dapur.
Sang profesor bergabung kembali dalam ruangan dengan membawa
nampan berisi beberapa jenis cangkir dan gelas serta sebuah teko berisi kopi
hangat. Aneh memang, karena sang profesor membawa cangkir dan gelas yang
beragam. Ada yang dibut dari porselen, plastik, kaca, dan Kristal. Ada yang
kelihatan biasa ada pula yang kelihatan sangan mewah. Tak lama, profesor
mempersilahkan mereka menuangkan sendiri kopi mereka.
Setelah semua anak didiknya mengambil kopi masing-masing,
profesor itu berkata, “Mohon diperhatikan dengan teliti. Bukankah, semua
cangkir dan gelas yang cantik dan mahal telah diambil, dan menyisakan cangkir
dan gelas yang biasa dan kelihatan
murah. Ini adalah keadaan yang sangat biasa, yaitu kita menginginkan yang
terbaik dalam hidup. Tetapi, tidakkah anda semua menyadari, bahwa terletak pada
cara pandang inilah, semua masalah dan stress yang menakutkan itu berpangkal.”
“Apa yang sebenarnya anda perlukan adalah kopi, bukan
wadahnya, tetapi anda semua lebih memperhatikan dan lebih tertarik untuk
memilih wadah tercantik dan termahal. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah,
anda sibuk memperhatikan wadah yang terlah diambil orang lain.”
“Kehidupan adalah kopi. Jabatan, uang, dan kedudukan di masyarakat
adalah wadah tersebut. Wadah itu hanyalah alat untuk menampung, dimana sesuatu
yang akan ditampungnya adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan tidak berubah
hanya karena alat tampungnya yang berubah. Kadangkala kita terlalu fokus pada
wadah yang kita pegang hingga kita gagal untuk menikmati kopinya. Dan yang
lebih menyedihkan, anda semua sibuk memperhatikan dan beriri hati atas wadah
yang dipegang orang lain,” kata sang profesor.
Yah…mungkin kita juga pernah terjebak pada kondisi yang sama
seperti apa yang digambarkan oleh sang profesor tersebut. Kita sudah
mendapatkan semua yang kita inginkan, kerja mapan, istri cantik, anak-anak yang
berbakti, namun, kita selalu merasa bahwa kita masih kekurangan. Kita selalu
iri dan sakit hati dengan kehidupan yang dimiliki oleh tetangga, kolega,
ataupun saudara kita yang lain. Kita sibuk mencari-cari wadah, sehingga kita
lupa bahwa kopi yang sama akan memiliki rasa yang sama pula meski kita
tempatkan pada wadah yang berbeda.
Walhasil, nikmatilah kopi kehidupan yang ada, yang telah
dihidangkan oleh Tuhan kepada kita. Kebahagiaan itu sederhana, sehingga harus
kita putuskan secara sederhana pula.
Sumber : Mutiara Biru Samudra
0 comments:
Posting Komentar